Semakin malam, Festival Tepi Sawah pun semakin meriah dengan jamming dari berbagai artis lokal. Di senja hari, acara dibuka dengan sambutan oleh Nita Aartsen, satu dari 3 founder Festival Tepi Sawah 2019. Dalam sambutannya, dia menjelaskan dengan bahasa inggris konsep peformance di alam terbuka dengan melibatkan artis lokal. “This is a big thing, kita menggerakkan banyak komunitas lokal dengan nilai-nilai edukasi, lingkungan dan kebudayaan,” katanya dengan senyum merekah. Pembukaan ini diadakan di stage Uma jam 18.30.

Pembukaan pun dilanjutkan dengan kolaborasi antara Nita, Endah Laras, Woro, dan Gamelan Yuganada. Woro, sinden cilik kelahiran Semarang ini membuka dengan bernarasi dengan bahasa jawa mengenai Indonesia dengan keberagamannya yang dipunya. “Dengan keberagaman itulah, di era modern ini kita bisa menjadi lebih kuat, tentram dan saling menyayangi satu sama lain,” jelasnya. Penampilan pun dilanjutkan dengan nyanyian merdu dari Endah Laras yang membawakan lagu Di Bawah Sinar Purnama. Nyanyian tersebut diiringi oleh dentingan piano Nita Aartsen dan suara violin dari Celticroom Bali. Sebagai penutup sesi tersebut, Gamelan Yuganada menampilkan gamelan dan tari kecak khas Bali.

Saat ditanya tentang persiapan, Woro mengaku sudah datang ke Bali sejak dua hari yang lalu (4-07) dan menjalani latihan. “Dapat latihan dua kali, check stage and sound, lalu perform hari ini,” katanya. Pemilihan lagu baik untuk opening maupun sesi jamming disesuaikan dengan tema acara. “Kalau opening memang kesepakatan Tante Nita dan Mama Endah, kalau jamming kan disesuaikan dengan temanya yaitu Dolanan Jawa,” jelasnya. Selama sesi jamming di stage Kubu, beberapa lagi yang dibawakan adalah Ilir-Ilir dan tembang dolanan dari Banyuwangi.

Tak hanya opening dan sesi Dolanan Jawa, malam di Festival Tepi Sawah juga dimeriahkan oleh penampilan Jegog Suar Agung dan Tribute to Koes Plus dari semua artis. Dalam sesinya, Jegog Suar Agung juga berinteraksi dengan penonton dan bersama-sama membentuk melodi lewat tepukan tangan diiringi tabuhan bumbung.

Hari ke-2

Mengajarkan Anak Peduli Lingkungan dengan tetap berkonsep go green dan cinta lingkungan, rangkaian acara Festival Tepi Sawah di Omah Apik Pejeng berlanjut pada Minggu (7-07). Line up artist hari ini diisi oleh Purnama Fajar, Dayu Ani, Bonita, Bhismo, Kacir, Iqua, FRC, Ana Perdana, Made Ciaaattt, dan Balawan. Rangkaian workshop pun dimentori oleh Arum Christina, Little Talks, Kopi Cukil, Arif Hendrasto, dan Indonesia Coffee Academy.

Pagi pun dimulai dengan berdongeng ala Pekak Made Taro yang membawakan cerita-cerita lawas khas Bali. Selama dua jam, Pekak Taro bersama peserta bermain dan bernyanyi bersama. Para peserta pun mulai dari anak kecil hingga turis asing, berbaur dan mengikuti arahan Pekak Taro. Menariknya, Pekak Taro beberapa kali berinteraksi dengan mencampurkan bahasa bali, inggris, dan indonesia. Misalnya saja saat mendongeng Dadong Dauh, Pekak Taro bersama-sama mengajak berhitung telur bergantian menggunakan ketiga bahasa tersebut.

Kegiatan yang dilakukan memiliki kesamaan: nilai-nilai yang ditanamkan semua mengandung pesan untuk menjaga lingkungan. Salah satunya terkandung dalam lagu Burung Camar. Liriknya berkata, “kurangi, gunakan kembali, daur ulang,” sebagai pengingat agar kita selalu cinta lingkungan dengan mengurangi dan mendaur ulang sampah.

Kegiatan daur ulang ini pun langsung dipraktekkan dalam sesi workshop oleh Arum Christina. Sekitar 80 anak dibagi dalam beberapa sesi dan diajak untuk melukis botol plastik bekas dengan cat akrilik water-based yang aman. Hasil karya mereka bisa dipakai untuk pot tanaman atau kotak pensil. Lewat kegiatan ini, Arum ingin mengajarkan ke mereka untuk mengurangi plastik dan mengalihfungsikan sampah yang masih bisa dipakai. “Festival ini menjadi momen untuk menyebarkan pesan agar orang aware kenapa kita mesti membuat art dari botol bekas agar bisa dipakai lagi,” katanya.

Workshop pun dilanjutkan oleh Gustra Adnyana dari Little Talks dengan mengajak anak-anak menggambar superheronya sendiri. Little Talks sendiri adalah sebuah café dan perpustakaan kecil yang terletak di Campuhan, Ubud. Kegiatannya berkaitan dengan pengembangan kreativitas dan imajinasi anak muda untuk berkreasi. Tahun lalu, Little Talks juga mengisi workshop membuat puisi dengan ‘menghidupkan’ benda mati di sekitar. “Kita memang fokus dalam pengembangan imajinasi karena kita tahu anak-anak Indonesia kan banyak sekali yang tidak pernah membaca, kadang hanya tahu dari TV,” ujarnya.

Dari sesi ini, Gustra mengungkapkan banyak anak-anak yang membuat superhero untuk menyelamatkan sawah. Menurutnya, anak-anak Bali sangat dekat dengan sawah, sehingga mereka berimajinasi bahwa sawah adalah rumah mereka sendiri. Hal ini dinilai Gustra sangat menarik karena mereka bisa bercerita dari gambar dan nama-nama yang sederhana. Sayangnya, sebagian besar karya mereka masih terpengaruh dengan tontonan TV. Hal ini terlihat dari kekuatan superhero mereka sebatas angin, api, dan air. “Namun, hal ini cukup bagus. Harapan saya, lewat sesi ini bisa tercipta buku anak sendiri dari Indonesia dan ide-ide mereka bisa dibawa ke lingkungan sehari-hari,” harapnya.

Closing Festival Tepi Sawah: Festival Perayaan Keragaman Nusantara

Festival Tepi Sawah tahun ketiga ini berakhir pada Minggu (07-07) di Omah Apik Pejeng, Ubud. Untuk memulai sesi jamming pada malam hari, stage Uma dimeriahkan oleh Nita Aartsen, Celticroom Bali, Made Ciaaattt, dan Dayu Ani. Dengan iringan piano, violin, dan tepukan gendang, mereka berkolaborasi dengan membawakan lagu Melati Putih. Di pertengahan, Made Ciaaattt menari dengan tempo khas gamelan Bali yang dibunyikan dari bibirnya sendiri. Melanjutkan aksi Made, Dayu Ani pun menampilkan teaterikal singkat yang dimulai dengan masuknya anak kecil berbalur boreh ke tengah acara. Tearikal ini diiringi dengan nyanyian kidung Pangraksa Jiwa dan menceritakan tentang penguatan batin anak dan ibu.

Menariknya, di dalam kidung Pangraksa Jiwa ini sempat terdengar nama-nama nabi seperti Muhammad dan Ibrahim disebutkan. Dayu Ani menjelaskan, dia mengetahui kidung ini bukan hanya diwariskan di desanya, Desa Budakeling, tapi juga dikenal sebagai kidung Hikayat Nabi dan Rumakso Iwonge di Sunda. Di Desa Budakeling, kidung ini dinyanyikan sampai pagi saat ada upacara Puput Puser. Tujuannya untuk menguatkan jiwa bayi agar dijauhkan dari marabahaya dan penolak bala. “Makna itupun sama dengan kidung Hikayat Nabi dan Rumakso Iwonge. Lewat kidung ini, diharapkan anak bisa hidup dengan kasih sayang semesta,” jelasnya.

Makna dari kidung dengan sebelas bait itu pun dituangkan dalamteaterikal yang ditampilkan. Pesan penguatan jiwa ini terlihat saat sosok anak kecil tersebut menari dan menarik kain putih di sekeliling Dayu Ani. Anak kecil tersebut diandaikan sebagai jiwa yang datang dan kain putih diandaikan sebagai tali pusar. Aksi itu menggambarkan bagaimana sang ibu lewat tali pusarnya memberi nutrisi dan melindungi anaknya, bahkan sampai dia mandiri. “Lewat festival ini, saya harap semoga kita bisa hidup saling berdampingan dengan alam nyata, tidak nyata, dan semesta,” harapnya.

Malam pun dilanjutkan dengan sesi jamming bertema Papua. Kacir, salah satu penyanyi di stage Uma menyanyikan beberapa lagu berbahasa Papua. Diantaranya bercerita hal yang sederhana, yaitu menggoda perempuan berbaju polkadot yang terlihat berjalan mondar-mandir. “Nona kalau tidak punya rumah, mending ke rumah saya saja,” celetuknya dan disambut tawa para penonton. Selanjutnya, lagu yang ia bawakan menceritakan tentang perjalanan ke kampungnya di pelosok Papua yang panjang dan berat. Terakhir adalah lagu Yamko Rambe Yamko, dimana para penari berbaju tradisional Papua mengajak penonton untuk ikut menari bersama di tengah penampilan.

Closing night Festival Tepi Sawah juga dimeriahkan oleh Bonita, Bhismo, Iqua, dan FRC dalam sesi Folklore. Disini, mereka membawakan lagu-lagu tradisional dari penjuru nusantara seperti Kicir-Kicir, Rasa Sayange, dan Ampar-Ampar Pisang. Balawan, gitaris handal asal Gianyar juga hadir dan sempat mengisi workshop Irama Bali di sore harinya, lalu jamming berkolaborasi dengan Made Ciaaattt di malam harinya.

 

 

Penulis Fatima Gita Elhasni
Foto: Olen Riyanto